Saat ini, Produk Hukum Tapera kembali digulirkan Pemerintah melalui PP No.21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Namun, tetap ditolak oleh Buruh dan Pengusaha.
Hal ini menurut Sekretaris LAKRI DPK Depok, Erwin Rizkian, bisa menimbulkan polemik berkepanjangan antara Pemerintah dan masyarakat, termasuk buruh dan pengusaha.
“Dari 2016, penolakan terhadap kebijakan Tapera itu sudah dikemukakan oleh masyarakat, terutama dari kalangan buruh dan pengusaha. Bagaimanapun, pembebanan pembiayaan iuran masih belum relevan dilaksanakan di sektor swasta. Apalagi, ada kewajiban dan sanksi yang melekat di PP tersebut. Saya harap, Pemerintah dapat menangguhkan dan mengkaji ulang Kebijakan Tapera,” tutur Erwin.
Erwin menilai, seharusnya Pemerintah bisa mengoptimalkan terlebih dahulu dana BPJS Ketenagakerjaan. Menurutnya, Dana Pengelolaan Aset Jamsostek bisa dimaksimalkan juga untuk mengoptimalisasikan Manfaat Layanan Tambahan (MLT).
“Sesuai PP No. 5 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jamsostek, ada sekitar 460 Triliun dapat digunakan untuk MLT Perumahan Pekerja yang diambil dari Program JHT. Kita tahu bahwa ada 4 manfaat, yaitu Pinjaman KPR, Pinjaman Uang Muka Perumahan, Pinjaman Renovasi Perumahan dan Pembiayaan Perumahan Pekerja dalam bentuk Kredit Kontruksi. Apalagi, BPJS Ketenagakerjaan kan sudah bekerjasama dengan Perbankan,” jelas Erwin.
Hari ini, sambung Erwin, Pemerintah harus lebih bijaksana dalam menerapkan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak seperti pekerja swasta yang berpenghasilan kecil. Erwin menelaah bahwa Program Tapera, saat ini, bila tetap dipaksakan, mungkin hanya bisa diberlakukan bagi PNS.
“Bagi saya, Tapera masih belum layak diterapkan sebagai sebuah kewajiban. Kebijakan Tapera, terutama bagi kalangan pekerja, terkesan dipaksakan. Dan, sebetulnya tumpang tindih dengan Program yang sudah ada di BPJS. Janganlah Pemerintah membebankan para pekerja dan pengusaha dengan alasan amanat undang-undang dan kesejahteraan pekerja,” tegasnya.
“Apalagi bila kita kaji dan telusuri lagi terkait proyeksi bisnis property dibalik Pelaksanaan Program Tapera. Jangan-jangan ada “Main Mata” antara oknum pemerintah dengan oknum pengusaha property dan berlindung dibalik Kebijakan. Kalau itu terjadi, maka sudah pasti masuk dalam ketegori Tindak Pidana Korupsi,” sindir Erwin.